9.15.2008

Banyak Mendengar Dan Rendah Hati

Oleh : Kundiyarto Prodjotaruno

Banyak mendengar dan rendah hati sejatinya saling bertautan. Sifat banyak mendengar yang dipunyai oleh seseorang, niscaya akan berdampak atau berpotensi menjadikan orang tersebut bersifat rendah hati. Sebaliknya, orang yang bersikap rendah hati (humble) akan lebih banyak mendengar. Mengapa demikian ? Salah satu ciri kerendahan hati adalah mau mendengar pendapat, saran dan menerima kritik dari orang lain. Sering dikatakan bahwa Tuhan memberi kita dua buah telinga dan satu mulut, yang dimaksudkan agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Kadang-kadang hanya dengan mendengarkan saja, kita dapat menguatkan orang lain yang sedang dilanda kesedihan atau kesulitan. Harus diakui, kegiatan mendengar bukanlah suatu pilihan yang kita ambil dengan perasaan suka cita. Hampir bisa dipastikan, kebanyakan orang lebih suka berbicara bukan ?

Cobalah bercermin ke diri kita sendiri. Kita senang mengungkapkan gagasan-gagasan kita. Kita juga merasa lebih enak memperkenalkan posisi, menonjolkan pendapat dan perasaan kita. Sebenarnya, kebanyakan orang tidak ingin mendengar seperti halnya keinginan mereka berbicara dan didengarkan. Karena itulah kita lebih memusatkan perhatian pada kata-kata yang akan kita ucapkan daripada memberi perhatian penuh pada apa yang diutarakan orang lain. Selain itu, kita sering menyaring kata-kata orang lain berdasarkan pendapat dan kebutuhan kita sendiri. Jika kita melihat sisi negatif, mendengarkan orang yang sedang berbicara terkadang tanpa kita sadari terasa membebani kita. Namun jika kita selalu melihat sisi positif, dengan mau mendengarkan orang lain, kita dapat memecahkan sebagian besar
masalah yang sedang dihadapi oleh orang tersebut. Mendengar juga berarti mau membuka diri dan menerima. Suatu sifat yang menggambarkan kerelaan untuk menerima kelebihan dan kekurangan orang lain maupun diri kita sendiri.


Sikap rendah hati, mengharuskan kita membuang ego jauh-jauh. Dan hal ini, kadang bagi sebagian orang sangat sulit dilakukaan ! Di antara sekian banyak ego antara lain adalah ego ingin menonjol, ingin dominan, ego ingin lebih dikenal ataupun ego ingin selalu didengar dan diperhatikan orang lain. Ego-ego ini akan sulit dihilangkan jika kita tidak mempunyai keinginan untuk berubah dari yang bersikap sombong mau menang sendiri berubah menjadi bersikap rendah hati. Jika kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, sifat orang yang tidak rendah hati, diantaranya adalah pertama, tidak bisa menerima kritikan walaupun itu sesuatu yang konstruktif.

Ketika menerima kritikan, hal pertama yang dilakukan adalah menolak dan mencari alasan pembenaran untuk menutupi kelemahannya. Jika kita melihat dari sisi positif kritikan sebenarnya adalah ungkapan tulus orang lain yang mau menunjukkan kekurangan yang ada pada diri kita. Justru seharusnyalah kita berterimakasih jika ada teman atau sahabat yang bersedia mengkritik. Namun harus diakui kebanyakan dari kita lebih suka minta dipuji daripada dikritik. Kemudian yang kedua, tidak mau menerima kelebihan yang dimiliki orang lain. Idealnya, segala sesuatu yang menunjukkan kelebihan positip yang dimiliki orang lain hendaknya dikagumi. Sejatinya, mengagumi kelebihan orang lain, akan menjadikan kita terobsesi untuk meneladani orang tersebut. Belajar dari kelebihan orang lain akan membantu kita untuk mengoreksi sikap-sikap kita yang selama ini tanpa kita sadariu banyak kekurangannya.


Mungkin Anda pernah mendengar peribahasa Jawa yang berbunyi "ngluruk tanpa bala (menyerang tanpa pasukan), menang tanpa ngasorake (menang tanpa harus menindas), lan sugih tanpa bondo (kaya tanpa harta)". Sejatinya makna filosofis yang terkandung dari ajaran itu sangat dalam! Penjelasan dari peribahasa itu adalah; dalam memenangkan suatu persaingan, kita tidak perlu menunjukkan kehebatan maupun memamerkan apa yang kita miliki. Bahkan, ketika kita menang sekali pun, tidak perlu kita pamer atau menunjukkan kesombongan atau mempermalukan pesaing atau kawan kita.. Dari beberapa penjelasan di muka, kiranya dapat disimpulkan, bahwa hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati !

Ia seperti padi yang semakin berisi semakin menunduk. Orang yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain. Ia bisa membuat orang yang di atasnya merasa nyaman dan membuat orang yang di bawahnya tidak merasa minderJim Collins, pakar management kondang, dalam bukunya yang sangat bagus, Good to Great, mengajarkan kepada kita, bagaimana sikap rendah hati itu harus dimiliki oleh para pemimpin masa kini. Ada beberapa hal yang menarik dari hasil penelitian Collins dan dua puluh orang asistennya selama lima tahun dengan metodologi ilmiah yang sangat solid, yang menjadi bahan dasar buku tersebut. Dari awal, Collins sudah berkali-kali berpesan kepada tim risetnya untuk tidak memedulikan faktor pemimpin dalam mencari kunci sukses perusahaan. Ia sadar bahwa kepemimpinan memang cenderung "bersifat romantis" yaitu kalau perusahaan sukses, itu pasti karena pemimpinnya, demikian juga kalau gagal jangan selalu menyalahkan anak buah.

Menurut Collins, pemimpin yang disebut sebagai "Level 5 Leaders" adalah para pemimpin yang rendah hati, tidak pernah menyombongkan diri, bahkan cenderung pemalu. Mereka menunaikan tugas dengan diam-diam tanpa berupaya mencari perhatian dan pujian publik. Apabila mereka berhasil, mereka selalu berusaha untuk memberi kredit kepada orang lain atau hal lain di luar diri mereka. Apabila ada kegagalan, mereka bertanggung jawab secara pribadi dan tidak mencari kambing hitam. Ambisi mereka adalah untuk kelanggengan perusahaan, bukan penggemukan dan kepentingan diri.

Patih Gadjahmada, Ahmadinejad, Soekarno, SBY, Ciputra adalah contoh-contoh pemimpin yang memenuhi sebagai "Level 5 Leaders". Apakah Anda setuju?Salam perjuangan!

Kundiyarto M. Prodjotaruno - Bekerja di kantor konsultan manajemen, keuangan dan bisnis;- Penulis di bidang management dan motivasi- Penulis bisa dihubungi di kundiyarto@gmail.com

9.05.2008

Belajar Dari Anak-anak

Oleh : Final Prajnanta

Minggu lalu saya menyempatkan diri menemani anak saya Bunga yang masih duduk di TK dalam festival marching band memperebutkan Piala Presiden. Lomba yang diikuti anak-anak TK se Indonesia ini sangat menarik minat saya. Banyak hal yang saya pelajari dari mengikuti perlombaan ini. Hal yang mengagumkan adalah melihat anak-anak TK ini bermain marching band dengan sangat apik dan penuh disiplin. Kalau dilihat dari keseriusan masing-masing peserta, boleh dikata kemampuannya berimbang. Yang membedakan adalah sang juara menampilkan keunikan yaitu harmonisasi antar alat yang dibawakan dan harmonisasi antar gerakan dan kepiawaian bermain musik secara masal. Hal yang sangat tidak mudah meskipun dilakukan oleh orang dewasa seperti kita.

Sejujurnya saya sempat nervous pada saat sehari sebelumnya menyaksikan gladi resik penampilan TK Al-Azhar BSD tempat anak saya Bunga bersekolah. Terlihat pada saat gladi resik, anak-anak TK ini masih belum siap sehingga dimarah-marahi oleh pengajarnya. Namun di luar dugaan pada saat perlombaan sesungguhnya mereka bisa tampil luar biasa dan penuh disiplin. Bahkan Bunga dkk bisa merebut piala Presiden sebagai juara umum melengkapi gelar ke-4 juara umum lainnya dalam setahun ini! Apa yang bisa kita pelajari dari kesuksesan anak-anak TK ini?

Masa anak-anak selalu menarik dicermati. Bunga, anak yang baru 6 tahun ini sangat disiplin. Setiap ada latihan marching band pagi hari dia selalu bangun pagi saat subuh. Jika latihannya jam 7 pagi dia siap berangkat pada jam 6 pagi. Bersama anak-anak seusianya dia selalu berlomba-lomba untuk hadir paling pagi di sekolah. Mereka akan selalu belajar dan bekerja keras sampai apa yang diinginkan pelatih marching bandnya tercapai. Berdisiplin, kepanasan di bawah terik matahari pun tidak dihiraukan. Ketika saya tanyakan ke Bunga apa keinginannya kok mau-maunya berpanas-panasan latihan, dengan simpel dia menjawab kalau keinginannya adalah mendapatkan piala besar di setiap kejuaraan tanpa pernah terpikirkan mungkin kans untuk menang sangat tipis. Bagaimana dengan kita orang dewasa? Sejujurnya kita susah berdisiplin dalam segala hal. Sangat jarang di antara kita yang rajin berolah raga walau kita semua tahu olah raga itu sangat diperlukan untuk kesehatan kita. Sangat jarang di antara kita yang datang ”on time” jika ada janji. Terkadang juga kita bekerja atau berkarya dengan target yang tidak jelas atau bahkan tidak mempunyai target sama sekali. Terkadang kita terlalu mengecilkan diri kita sendiri, terlalu takut sebelum ”berperang”. Hanya terkesan membatalkan kewajiban. Aneh bukan? Belajar dari anak kecil, untuk sukses kita harus disiplin dan mempunyai target yang jelas untuk dicapai!

Kalau kita perhatikan bayi belajar jalan, mungkin kalau dihitung akan lebih dari 200 kali bayi itu jatuh namun dia bangkit lagi. Hingga dia bisa berjalan! Sementara kita orang dewasa, jika mengalami kegagalan bertubi-tubi tentu akan menganggap hal itu sudah menjadi ”nasib jelek” dan sangat susah diubah. Mungkin Abraham Lincoln adalah contoh terbaik sebagai manusia yang penuh kegagagalan, namun beliau bangkit dan bangkit terus yang akhirnya mengantarkannya menjadi Presiden Amerika Serikat. Kegagalan bukanlah kiamat. Kegagalan adalah proses yang harus kita lalui sebelum menemukan jalan sukses. Kegagalan membantu kita mengevaluasi diri atas kesalahan-kesalahan yang mungkin ada. Jika kita amati buah durian, maka di antara duri-duri yang tidak teratur akan terdapat beberapa ”jalan” yang terbentuk dari duri-duri yang teratur susunannya. ”Jalan” inilah yang diciptakanNya sebagai pembuka kenikmatan buah durian itu. Sama halnya kehidupan, jalan menuju kesuksesan sebenarnya terhampar di depan mata kita, hanya terkadang tersamarkan dengan jalan-jalan menuju kegagalan. Tugas kitalah untuk menemukan jalan kesuksesan tersebut.

Anak-anak akan selalu polos dan jujur. Jika suatu ketika kita sedang capek, sementara ada telepon yang terus berdering mungkin kita akan menyuruh anak kita mengangkat telepon untuk mengatakan bahwa orang tuanya tidak ada. Tetapi namanya juga anak-anak akan selalu bilang ”Ayah ada, namun lagi capek jadi saya disuruh bilang kalau ayah tidak ada.” Mungkin anda pernah mengalaminya bukan? Jujurlah kepada diri sendiri sebelum kita menerapkan jujur kepada orang lain dan jangan sekali-kali mengajari anak berbohong.

Anak-anak dengan kepolosannya akan selalu bilang ”tidak” jika memang sesuatu itu tidak berkenan baginya. Bagaimana dengan kita yang sudah merasa dewasa ini? Terkadang kita sangat sulit mengatakan ”tidak”, hanya karena rasa tidak enak terhadap atasan atau teman dekat padahal hati kita berontak. Mayoritas kita orang dewasa akan selalu berbuat manis, apalagi kalau disuruh atasannya. Jadi kita harus berani bilang ”tidak” kalau nurani kita mengatakan demikian.

Mungkin kalau kita perhatikan, anak-anak jarang terlihat stress. Mereka akan berteriak kencang-kencang kalau lagi bermain. Mereka akan bertepuk tangan gegap gempita kalau lagi gembira. Mereka akan tertawa ngakak kalau ada sesuatu yang lucu. Sementara kita orang dewasa akan larut dalam masalah pekerjaan dan masalah rumahtangga sehari-hari tanpa berusaha menyelesaikannya satu persatu. Akibatnya bisa ditebak kita menjadi stress berkepanjangan. Lepaskan stress anda dengan berteriak kencang saat anda sendiri di tengah lapangan terbuka. Bertepuk tanganlah secara ikhlas untuk mengapresiasi seseorang. Tertawalah secara spontan pada tempat dan waktu yang tepat. Belajarlah bernyanyi. Hal ini benar-benar membantu kita melepas stress.

Hari itu saya sangat bahagia bisa belajar dari kedisplinan, kejujuran, semangat pantang menyerah anak-anak yang bisa saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Belajar memang tidak mengenal waktu, tempat, usia dan sumber. Kepada setiap orang kita belajar, termasuk saya pribadi banyak belajar ke para kolumnis dan anda pembaca setia kolom www.andriewongso.com ini.